Politik Lokal
Kebudayaan dan Tradisi
dalam Hubungannya dengan Kekuasaan Politik (Negara)
Di Indonesia, desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya sudah lama menjadi komitmen seluruh elemen bangsa. Sejak awal kemerdekaan para pendiri bangsa menganjurkan penerapan desentralisasi sebagai sebuah solusi permanen atas pemerintahan dan keragaman masyarakat. Selama satu dekade pasca kemerdekaan republik ini tengah belajar menerapkan desentralisasi dan demokrasi dengan cukup baik, tetapi kemudian keduanya diberangus oleh rezim yang sentralistik dan otoritarian. Sentralisasi jauh lebih kuat dan permanen selama tiga dekade pada masa Orde Baru. Sejarah menunjukkan bahwa pengalaman sentralisasi telah menimbulkan sejumlah tragedi kemanusiaan yang mengingkari cita-cita proklamasi kemerdekaan 1945, yaitu : penyalahgunaan kekuasaan, penghisapan sumberdaya lokal, ketimpangan antara Jakarta dan daerah, ketimpangan Jawa dengan luar Jawa, kerusakan kearifan lokal, ketergantungan dan keterbelakangan daerah.
Ketika transisi menuju demokrasi dimulai, menyusul bangkrutnya Orde Baru, semangat desentralisasi dan demokrasi lokal mengalami kebangkitan. Undang-undang lama dihapuskan dan kemudian digantikan oleh UU No. 22/1999, yang lebih konkret dan sedikit banyak mempunyai semangat desentralisasi dan demokrasi lokal. Desentralisasi dalam konteks Indonesia diyakini sebagai sebuah cara untuk membangun pemerintahan yang efektif, mengembangkan pemerintahan yang demokratis, menghargai berbagai keragaman lokal, menghormati dan mengembangkan potensi penghidupan masyarakat lokal, serta memelihara integrasi nasional.
Desentralisasi Kebudayaan
Birokratisasi yang cenderung menyeragamkan derap kehidupan masyarakat bukanlah suatu yang lain dari suatu kecenderungan untuk mengubah kebudayaan kearah kebalikan dari emansipasi suatu bangsa, yakni ke arah pembekuan daya cipta suatu bangsa yang sedang berada di dalam masa perubahan besar-besaran secara sosial dan ekonomis.
Praktik desentralisasi dan demokrasi lokal menghadapi sejumlah kerentanan dan bermasalah, daerah-daerah di Indonesia umumnya mewarisi tradisi politik feodal, otoritarian, birokratis dan sentralistik. Tradisi yang relatif kekal ini membentuk paradigma kolot para elite dalam mengelola kekuasaan, mengatur rakyat dan menguasai sumberdaya ekonomi.
Paradigma patron-klien (yang menekankan hubungan vertikal secara hirarkhis-sentralistis), bagaimanapun, masih melekat pada alam pikiran para penguasa di Indonesia, mulai dari presiden, jenderal, gubernur, bupati sampai kepala desa. Mereka lebih mengutamakan paradigma bagaimana memperbesar dan mempertahankan kekuasaan, bukan paradigma bagaimana menggunakan kekuasaan untuk kemanfaatan yang lebih besar bagi rakyat.
Suasana yang melanda bangsa Indonesia sekarang ini merupakan suatu ujian berat bagi harkat dan martabat budaya kita. Lingkungan sosial budaya yang selama ini ditandai oleh nilai-nilai keramahan, santun, toleransi, damai, tiba-tiba berubah menjadi kasar, mudah mengamuk, merusak, membakar, merampok, menjarah, menyakiti orang lain, dengan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.
Akhir-akhir ini konflik sosial terjadi dimana-mana yang ditandai dengan tindakan melampaui batas kemanusiaan. Timbullah kekerasan, saling bakar, saling merusak, saling bunuh bahkan akhir-akhir ini kita mendengar adanya pembunuhan yang sertai dengan tindakan mutilasi. Konflik-konflik sosial baik vertical maupun horisointal mewarnai berita dalam televisi, radio dan media cetak. Kerusuhan terjadi dimana-mana dalam berbagai nuansa seperti nuansa politik, sosial, hukum, agama dan lain-lain. Akhir-akhir ini kita melihat banyaknya kasus-kasus terorisme yang sangat mengganggu keamanan masyarakat dan negara, kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh kebanyakan para pejabat negara, kasus mafia pajak, dan kasus-kasus yang lainnya yang sangat meresahkan masyarakat dan berakibat pada kerugian negara. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa budaya kita sedang berproses mengalami perubahan. Proses perubahan ini dapat mengarah ke arah positif dan juga negative. Inovasi budaya ke arah positif harus didukung, dan perubahan ke arah negatif haruslah diwaspadai.
Masalah Ruang Politik bagi Keragaman Budaya
Adat dan tradisi merupakan sebuah konsepsi yang dianggap bernilai dalam suatu komunitas tertentu. Selain berupa nilai konsepsi itu juga berwujud suatu cara, pola tindakan dan struktur sosial. Adat dan tradisi acapkali diyakini sebagai representasi komitmen moral para anggota komunitas pendukungnya untuk hidup bersama secara damai dan berbudi. Sebagai komitmen moral yang diyakini bernilai, maka menjadi kewajiban bagi setiap anggota untuk memelihara, melestarikan, dan memaknainya.
Proses nasionalisasi yang terjadi telah menyebabkan pengabaian terhadap keberadaan kebudayaan yang beragam, baik berupa budaya materi yang begitu kaya di berbagai tempat, institusi-institusi lokal yang berfungsi dengan baik sehingga bagian dari kemampuan penataan sosial, maupun ideologi dan nilai-nilai yang mengandung kearifan lokal. Dengan cara ini pemerintah bukan saja gagal menemukan kebudayaan nasional, tetapi juga telah melahirkan resistensi yang sangat besar dari berbagai daerah. Konflik di berbagai tempat sesungguhnya merupakan bentuk resistensi masyarakat terhadap berbagai tindakan kebijakan pusat. Resistensi ini bagaimanapun turut menyumbangkan pada proses reformasi sistem pemerintahan dewasa ini dengan memberi ruang yang lebih besar untuk demokrasi dan pembagian kekuasaan serta sumber daya. Namun demikian, perubahan sistem pemerintahan itu akan gagal jika hakekat keragaman kebudayaan itu tidak dipahami dengan baik. Dari analisis tentang keberadaan etnis, bahasa, agama, dan pranata sosial yang memperlihatkan keragaman budaya dengan segala dinamikanya, dapat dipelajari tiga proses penting yang telah terjadi di Indonesia yang telah menemukan situasi dan kondisi Indonesia dewasa ini.
Pertama, pengingkaran atas status kebudayaan yang beragam itu yang terjadi dalam berbagai bentuk yang kemudian melahirkan berbagai persoalan yang menjauhkan Indonesia dari sifat bhinneka tunggal ika tersebut. Kebudayaan yang tersebar diberbagai tempat tidak mendapatkan pengakuan dan berada dalam posisi yang tidak diperhitungkan. Hal ini diakibatkan oleh ideologi pembangunan yang mementingkan homogenitas yang dengan prakondisi itu dianggap pembangunan akan berlangsung dengan baik. Namun, pengingkaran keragaman budaya telah menghasilkan beban tambahan untuk pembangunan itu, khususnya akibat terganggunya stabilitas politik dalam bentuk kerusuhan dan berbagai konflik.
Fakta pengingkaran kebudayaan daerah pada masa orde baru terjadi sebagai akibat proses sentralisasi yang berlebihan. Pengingkaran tentang adanya budaya daerah dapat dilihat dalam beberapa bentuk. Pengingkaran terjadi dalam bentuk tidak adanya status yang jelas untuk kebudayaan daerah atau lokal dalam berbagai dimensinya. Apakah budaya daerah dapat dianggap sebagai sumber hukum dan sumber dalam pembentukan tatanan sosial dan politik maupun ekonomi suatu daerah masih menjadi sesuatu yang tidak terdefinisikan. Organisasi ekonomi yang dulunya dijiwai oleh semangat komunal dan juga pengaturan akses yang berbasis komunal, misalnya, apakah dapat menjadi sumber nilai dan aura bagi pembentukan sistem ekonomi daerah.
Demikian pula dalam hak untuk hidup bagi kebudayaan daerah. Berbagai bentuk ekspresi kebudayaan daerah sesungguhnya berada dalam taraf bertahan atau bahkan cenderung punah karena tidak mamiliki hak yang jelas untuk hidup, teutama karena proses marginalisasi yang terjadi secara sistematis. Bahasa daerah sebagian besar sedang mengalami kepunahan, demikian juga pranata sosial lokal yang telah berfungsi menjamin akses dan keberadaan individu dan kelompok menghilang begitu saja tanpa ada usaha pelestarian yang sistematis. Iklim yang terbangun dalam era nasionalisasi dan globalisasi dewasa ini telah dengan sangat kuat menekan keberadaan budaya daerah sehingga daya pengaruh, apalagi daya paksa, kebudayaan sudah mengalami pelemahan secara signifikan. Dalam bentuk yang sama kekuatan kebudayaan sebagai pengendali sosial yang didasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku telah pula melemah. Otoritas orang tua sebagai pusat orientasi, seperti juga pemimpin informal, telah melemah dan telah digantikan oleh pusat-pusat kekuatan yang baru yang lebih formal. Fakta ini kemudian menunjukkan tidak terlibatnya kekuatan sosial budaya dalam penataan sosial pada berbagai tingkat sehingga ciri sistem sosial dan struktur sosial yang terbentuk memiliki orientasi yang berubah, terutama kepada otoritas negara dan pasar.
Kesulitan lain yang dihadapi kebudayaan daerah adalah ia harus mengalami akibat-akibat sampingan dari adanya gerakan modernisasi yang dibawa oleh negara dan pasar dalam berbagai bentuk. Kebudayaan harus menerima akibat-akibat dan bahkan harus ikut menanggung semua biaya yang diakibatkan oleh modernisasi dalam berbagai bentuk. Biaya kultural yang harus dipikul atas masuknya teknologi telah menjadi cerita usang tentang adaptasi yang harus dilakukan oleh kebudayaan setempat. Dan berbagai bentuk penjelasan kultural dan penanganan kultural harus dilakukan sebagai cara yang tersedia untuk merespons berbagai persoalan yang ditimbulkan sejalan dengan proses perubahan sistem politik dan ekonomi yang berlangsung begitu cepat.
Kedua, politik uniformitas yang bertolak belakang dari keanekaragaman budaya karena penyeragaman terjadi pada skala yang sangat luas dan pada tingkatan yang bervariasi. Politik ini telah menyebabkan adanya suatu persepsi yang sama tentang pengelolaan kehidupan negara bangsa dan dalam berbagai tingkah laku sosial yang dicapai melalui berbagai proses pendidikan dan pelatihan. Media telah berfungsi dengan baik dalam proses semacam ini yang kekuasaannya berada dibawah kendali pemerintah. Uniformitas ini juga tampak pada tataran nilai yang berbagai kelompok masyarakat diharapkan untuk membagi nilai yang sama dalam kehidupan sosial dan politik. Ukuran-ukuran ditentukan oleh negara yang kemudian menegaskan mana yang boleh dan tidak boleh. Tingkah laku sosial dan politik pun mengikuti cara yang sama yang dalam pemilihan partai atau dalam seluruh proses kepemimpinan mengikuti prinsip yang ditentukan secara langsung dari pusat dan menafikan variasi-variasi lokal. Kebijakan pemerintah tentu saja berlaku umum dari pusat sampai ke daerah tanpa memperhitungkan variasi dan diversifikasi budaya yang begitu besar. Reaksi yang muncul terhadap politik uniformitas ini sekarang, misalnya, dengan resistensi diberbagai tempat dengan usaha-usaha memberlakukan syariah islam dan prinsip-prinsip lokal dalam penataan sosial.
Proses standarisasi yang dilakukan dalam kehidupaan sosial politik telah melampaui batas-batas toleransi kultural karena tindakan itu bukan lagi merupakan proses penyadaran etnis sebagai bagian dari satu kesatuan sistem sosial yang lebih besar dengan identitas bersama, tetapi sudah sampai pada pengingkaran eksistensi dan identitas kultural etnis. Nasionalisasi yang berlebihan telah menafikan eksistensi nilai-nilai dan pranata sosial lokal. Tokoh adat kehilangan peran dan legitimasi, institusi lokal telah digantikan dengan sistem organisasi yang standar yang dibentuk pemerintah, sehingga melahirkan tekanan cultural yang dahsyat. Pemerintah cenderung menutup ruang bagi kebebasan budaya lokal untuk berkembang sehingga nyaris punah. Krisis identitas dan keterasingan budaya ini menimbulkan frustasi yang mendalam bagi penduduk lokal.
Tekanan-tekanan struktural semacam ini telah melahirkan gerakan tandingan atau resistensi budaya yang akhir-akhir ini mengejawantah dalam bentuk pertikaian. Pertikaian etnis disini lebih merupakan protes sosial etnis terhadap dominasi pusat. Pertikaian kemudian menjadi alat politik etnis dalam menuntut terbukanya ruang kultural yang lebih luas sehingga eksistensi kultural etnis mendapatkan pengakuan.
Ketiga, kegagalan pemerintah dalam menjaga keseimbangan antar kelompok dalam masyarakat. Keseimbangan hubungan antar etnis memang tidak mungkin dicapai karena posisi ekonomi dan politik satu etnis dengan etnis lain sejak awal sudah berbeda. Masalah muncul ketika perbedaan itu semakin mencolok dan melahirkan ketimpangan dalam penguasaan sumber daya. Etnis pendatang seringkali menjadi etnis yang lebih dominan dalam penguasaan sumber daya walaupun dari sudut jumlah mereka tergolong minoritas. Ketimpangan penguasaan sumber daya ini kemudian meluas ke dalam ketimpangan akses politik yang menyebabkan lahirnya dominasi suatu etnis.
Ketiga faktor di atas menegaskan bahwa konflik-konflik yang terjadi di Indonesia selama ini bukan semata-mata persoalan perbedaan budaya etnis, tetapi sudah lebih mengakar sebagai kesalahan berbagai pihak dalam mengelola perbedaan dan konflik itu sendiri.
Daftar Pustaka
Tuloli, Nani Prof. Dr , Ajawaila, J. W, dkk, 2003, Dialog Budaya Wahana Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Bangsa, Jakarta : CV. Mitra Sari.
Wahid, Abdurrahman, 2001, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok : Desantara.
Peranan Partai Politik dan Organisasi Massa didalam Negara
Pendahuluan
Dalam politik Indonesia kontemporer, peranan partai-partai politik dalam kehidupan kenegaraan menjadi meningkat, terutama sejak pemilu 1999. Pemilu 1999 digelar begitu cepat, pasca berhentinya Soeharto sebagai Presiden RI untuk ketujuh kalinya oleh MPR RI dalam sidang umum MPR 1997. Disain sistem politik Indonesia dibawah UUD 1945 memang menempatkan lembaga kepresidenan sebagai kekuatan paling penting, sekalipun presiden merupakan mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dalam dua periode, yaitu periode kekuasaan Pemimpin Besar Revolusi (Soekarno) dan kekuatan Bapak Pembangunan (Soeharto), tatanan kehidupan berbangsa-negara kita sebagai bangsa merdeka modern dilakukan secara amat individual, tetapi diatas dasar dan kehendak konstitusi.
Sebagai pusat kekuasaan dengan jaringan yang kuat di kalangan militer, bisnis dan politik, kejatuhan Soeharto menyisakan kelompok-kelompok kepentingan yang beragam. Tidak ada kelompok oposisi yang besar yang langsung bisa menjadi kekuatan manyoritas sebagai penggantinya. Konflik dan persaingan berlangsung terbuka atau secara diam-diam disekitar lingkaran dalam dan luar soeharto. Posisi partai-partai politik begitu lemah sepanjang kekuasaan Soeharto, kecuali seputar tahun 1970-an, menimbulkan kerumitan tersendiri dalam memulai proses yang dikenal sebagai transisi awal demokratisasi. Dalam masa pasca Seoharto, terjadi beragam anomali politik, kekisruhan, sampai proses peradilan yang panjang menyangkut sengketa pemilu 1999. Anomali demokrasi pun berlangsung sepanjang proses transisi demokrasi periode 1999 sampai sekarang. Proses transisi itu juga beriringan dengan oligarki kepartaian dalam bentuk yang paling mendasar, baik dalam politik nasional maupun politik lokal. Intervensi elit-elit politik terus menerus terjadi, mulai dari proses pengangkatan presiden dan wakil presiden, penyusunan menteri-menteri kabinet, sampai kepada pengajuan calon-calon pemimpin kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota). Elit-elit politik mengalami masa kejayaan, sehingga terus menerus memonopoli kekuatan dan wacana pemberitaan di media massa.
Namun, era transisi demokrasi yang memanjakan kedudukan kalangan politisi, lalu memperkuat peran partai-partai politik, sembari juga juga mulai mengamputasi kedudukan militer dan polisi dalam fungsi-fungsi kekaryaan, tidak lantas meningkatkan kinerja dari partaipartai politik. Kalangan politisi mengalami euforia, kebersorakan, sebagai agen-agen kekuasaan pada hampir semua cabang eksekutif, legislatis dan yudikatif, kehidupan demokrasi memang tumbuh, terutama kalangan politisi. Sejak kejatuhan Soeharto sangat sulit bagi siapapun untuk berunding secara aman, tanpa tekanan uang atau kekerasan. Sementara, masyarakat tidak mempunyai pengaruh.
Partai Politik
Partai politik merupakan organisasi manusia dimana didalamnya terdapat penbagian tugas dan petugas untuk mencapai suatu tujuan, mempunyai ideologi, mempunyai program politik sebagai rencana pelaksanaan atau cara pencapaian tujuan secara lebih pragmatis menurut pentahapan jangka dekat sampai yang jangka panjang serta mempunyai ciri berupa keinginan untuk berkuasa.
Menurut Sigmund Neumann, Partai politik adalah bagian organisasi masyarakat yang merupakan unsur-unsur aktif dalam bidang politik, yaitu yang berhubungan dengan pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah dan mereka yang berlomba untuk memperoleh dukungan dari rakyat yang mempunyai pandangan yang berbeda. Hal ini merupakan perantara yang penting yang menghubungkan kekuatan sosial dan ideologi dengan institusi pemerintahan resmi serta merelasikan keduanya pada tindak politik didalam masyarakat politik yang lebih besar.
Sistem politik Indonesia telah menempatkan partai politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa partai politik. Karena begitu pentingnya peran partai politik, maka sudah selayaknya jika diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan mengenai partai politik. Peraturan perundang-undangan ini diharapkan mampu menjamin pertumbuhan partai politik yang baik, sehat, efektif dan fungsional.
Menumbuhkan partai politik yang sehat dan fungsional memang bukan perkara mudah. Diperlukan sebuah landasan yang kuat untuk menciptakan partai politik yang benar-benar berfungsi sebagai alat artikulasi masyarakat. Bagi Indonesia, pertumbuhan partai politik telah mengalami pasang surut. Kehidupan partai politik baru dapat di lacak kembali mulai tahun 1908. Pada tahap awal, organisasi yang tumbuh pada waktu itu seperti Budi Oetomo belum bisa dikatakan sebagaimana pengertian partai politik secara modern. Budi Utomo tidak diperuntukkan untuk merebut kedudukan dalam negara (public office) di dalam persaingan melalui pemilihan umum. Juga tidak dalam arti organisasi yang berusaha mengendalikan proses politik. Budi Oetomo dalam tahun-tahun itu tidak lebih dari suatu gerakan kultural, untuk meningkatkan kesadaran orang-orang Jawa.
Sangat boleh jadi partai dalam arti modern sebagai suatu organisasi massa yang berusaha untuk mempengaruhi proses politik, merombak kebijaksanaan dan mendidik para pemimpin dan mengejar penambahan anggota, baru lahir sejak didirikan Sarekat Islam pada tahun 1912. Sejak itulah partai dianggap menjadi wahana yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Selang beberapa bulan, lahir sebuah partai yang didirikan Douwes Dekker guna menuntut kebebasan dari Hindia Belanda. Dua partai inilah yang bisa dikatakan sebagai cikal bakal semua partai politik dalam arti yang sebenarnya yang kemudian berkembang di Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang semua partai politik dibubarkan. Namun, pada masa pendudukan Jepang juga membawa perubahan penting. Pada masa Jepang-lah didirikan organisasi-organisasi massa yang jauh menyentuh akar-akar di masyarakat. Jepang mempelopori berdirinya organisasi massa bernama Pusat Tenaga Rakyat (Poetera). Namun nasib organisasi ini pada akhirnya juga ikut dibubarkan oleh Jepang karena dianggap telah melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mempengaruhi proses politik. Praktis sampai diproklamirkan kemerdekaan, masyarakat Indonesia tidak mengenal partai-partai politik.
Memasuki periode Orde Baru, tepatnya setelah Pemilihan Umum 1971 pemerintah kembali berusaha menyederhanakan Partai Politik. Seperti pemerintahan sebelumnya, banyaknya partai politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah ini baru terealisasi pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan tumbuh hanya berjumlah tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Baru setelah reformasi, pertumbuhan partai politik didasari atas kepentingan yang sama masing-masing anggotanya. Boleh jadi, Era Reformasi yang melahirkan sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya. Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan, karena partai politik adalah alat demokrasi untuk mengantarkan rakyat menyampaikan artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi sejati tanpa partai politik. Meski keberadaan partai politik saat ini dianggap kurang baik, bukan berarti dalam sistem ketatanegaraan kita menghilangkan peran dan eksistensi partai politik. Keadaan partai politik seperti sekarang ini hanyalah bagian dari proses demokrasi.
Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik pada saat ini yang demokratis. Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah dan damai. Karena itu partai politik dalam pengertian modern dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah.
Adapun Fungsi dari Partai Politik adalah sebagai berikut:
Pertama, partai politik berfungsi sebagai sarana komunikasi politik. Dalam hal ini, partai politik merumuskan usulan-usulan kebijakan yang bertumpu pada aspirasi dari masyarakat. Kemudian rumusan tersebut diartikulasikan kepada pemerintah agar dapat dijadikan sebagai sebuah kebijakan. Proses ini menunjukan bahwa komunikasi antar pemerintah dengan masyarakat dapar dijembatani oleh partai politik. Dan bagi partai politik mengartikulasikan aspirasi rakyat merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat dielakkan, terutama bila partai politik tersebut ingin tetap eksis dalam kancah politik nasional.
Kedua, partai politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan politik. Dalam kaitan ini, partai politik berkewajiban untuk mensosialisasikan wacana politiknya kepada masyarakat. Wacana politik dari sebuah partai politik dapat dilihat melalui visi, misi. platform dan program partai tersebut. Dengan sosialisasi wacana politik ini diharapkan masyarakat akan menjadi semakin dewasa dan terdidik dalam politik. Sosialisasi dan pendidikan politik ini memposisikan masyarakat sebagai subyek, tidak lagi sebagai obyek.
Ketiga, partai politik, berfungsi sebagai sarana rekruitmen politik, dimana partai politik berkewajiban untuk melakukan seleksi dan rekruitmen dalam rangka mengisi posisi dan jabatan politik tertentu. Dengan adanya rekruitmen politik maka dimungkinkan terjadinya rotasi clan mobilitas politik. Tanpa rotasi dan mobilitas politik pada sebuah sistem politik, maka akan muncul diktatorisme dan stagnasi politik dalam sistem tersebut.
Keempat, partai politik berfungsi sebagai sarana peredam dan pengatur konflik. Dengan fungsinya sebagai penyerap aspirasi masyarakat, maka partai politik harus peka dan tanggap terhadap potensi-potensi konflik yang ada dalam masyarakat. Dan karena partai politik cenderung inklusif, menjadi kewajiban partai politik untuk meredam dan mengatur potensi konflik tersebut agar tidak meledak menjadi sebuah perpecahan. Jika keempat fungsi ini berjalan dengan baik sebagaimana mestinya, maka kekhawatiran akan munculnya konflik dan perpecahan akibat banyaknya jumlah partai politik menjadi tidak beralasan. Dan sebaliknya, ini akan menjadi energi pendorong bagi proses demokratisasi.
Partai Politik, Gerakan Sosial, dan Kelompok Penekan
Dari rumusan-rumusan tentang pengertian partai politik terpapar diatas tampak perbedaan antara partai-partai politik dan gerakan-gerakan sosial. Suatu geraka sosial dilakukan oleh kelompok atau golongan yang bermaksud melakukan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang malahan bermaksud menciptakan suatu tatanan masyarakat yang sama sekali baru. Gerakan sosial mempunyai tujuan yang lebih terbatas dan fundamental sifatnya, kadang-kadang bahkan bersifat ideologis. Orientasi ideologis ini merupakan perekat yang kuat bagi persatuan para anggotanya dan menjadi penentu identitas kelompok. Dibandingkan dengan partai politik, gerakan sosial kurang terorganisir.
Partai politik juga berbeda dengan kelompok penekan (presure group) yang disebut juga kelompok kepentingan (interest group). Kehadiran kelompok penekan dimaksudkan untuk memperjuangkan suatu kepentingan. Dalam rangka itu, kelompok ini berusaha mempengaruhi lembaga-lembaga politik yang ada untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang lebih menguntungkan ketimbang merugikannya. Kelompok kepentingan berjuang bukan agar memiliki wakil di parlemen atau di dewan perwakilan rakyat. Yang diperjuangkan oleh para anggota kelompok ini ialah agar mereka mempunyai pengaruh atas partai-partai politik yang berpengaruh atau atas sejumlah menteri yang berwenang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan mereka. Tampak disini bahwa tujuan perjuangan kelompok penekan itu jauh lebih sempit ketimbang tujuan perjuangan partai politik. Disamping itu, organisasi kelompok penekan lebih longgar dibandingkan dengan organisasi partai politik.
Apa yang dikenal sebagai kelompok penekan itu terdapat diberbagai negara, termasuk di Indonesia. Di negeri ini terdapat beberapa kelompok penekan, seperti kelompok konglomerat, kelompok bankir dan kelompok swadaya masyarakat (LSM).
Golongan kepentingan: Anomik, Asosiasional dan Nonasosiasional
Mahasiswa dan angkatan muda
Melihat sejarah politik Indoonesia, lebih-lebih sejarah pergerakan kemerdekaan, tak dapat disangkal lagi bahwa gerakan angkatan muda pada eranya selalu dilandasi idealisme.Oleh karena itu angkatan muda sebagai salah satu pengelompokan umur (disamping, misalnya di Indonesia terdapat pengelompokan umur lainnya seperti angkatan '45 yang biasanya termasuk “nonassociational interest groups”, khususnya mahasiswa, relatif mempunyai kematangan umur dan bekal pengetahuan, selalu merupakan kekuatan moral (moral force) dalam saat kritis, sehingga dapat disebut pula sebagai golongan kepentingan anomik (anomic interest group).
Reaksi-reaksi spontan terhadap keadaan yang berlaku sering berwujud sebagai demonstrasi, protes, bahkan kadang-kadang berupa huruhara. Demontrasi dan lain-lainnya tadi dapat secara sengaja diorganisasi atau dikendalikan oleh sesuatu golongan untuk tujuan-tujuan tertentu. Dsalam kenyataannya, aksi demikian itu cukup potensial dalam mengganggu atau bahkan mengganti sistem politik yang sedang berlaku.
Sebagai kekuatan moral, tanpa adanya kekuatan lainnya, atau bila tidak berkembang menjadi kekuatan tersendiri, kemungkinan besar tidak cukup efektif mempengaruhi atau mengganggu sistem politik, atau untuk sementara mungkin dapat diabaikan. Karena landasannya kekuatan moral, kekuatan lainnya sering dapat terpanggil dan terlibat atau melibatkan diri untuk bersama-sama memanifestasikan sikapnya dalam menghadapi berbagai masalah, maka dengan demikian terjadilah integrasi antarkekuatan. Terbukti dari proses peralihan dari orde lama ke orde baru, kekuatan moral mahasiswa, khususnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), berhasil mengadakan perubahan terhadap Sistem Politik di Indonesia ketika itu.
Gerakan tersebut dapat mengenai sasarannya oleh karena didukung oleh kekuatan militer yang ketika itu masih dapat dikategorikan sebagai golongan penekan. Peranan golongan kepentingan anomik ini makin melemah, boleh jadi bukan karena landasan moralnya berkurang, tetapi karena hal-hal penting yang dituntutnya sedikit banyak sudah terpenuhi dan juga karena golongan penekan yang beraliansi dengannya tadi tidak lagi berfungsi sebagai kelompok pendesak.
Organisasi Buruh dan Pengusaha
Dari sejarah Indonesia terlihat bahwa buruh sebagai salah satu unsur dalam proses produksi telah terkotak-kotak oleh ideologi dan oleh sebab itu bertindak sebagai susunan bawah partai-partai. Konsekuensinya, mereka sering dijadikan tulang punggung dan pemberi dinamik gerakan oleh partai yang membawahinya.
Oleh Almond, organisasi buruh, organisasi pengusaha, yang pada hakekatnya merupakan subyek dalam proses produksi, diklasifikasikan sebagai golongan kepentingan assosiasional (associational interest groups).
Dalam perkembangannya kemudian, di Indonesia berbentuk Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang eksponen-eksponen pendirinya dapat dianggap berasal dari berbagai organisasi buruh yang pernah ada. FBSI ini telah dapat meletakkan organisasi buruh dalam fungsi dan tujuan yang sedikit banyak secara formal tidak berorientasi kepada ikatan ideologi yang sempit.
Kemudian sebagai subyek dalam proses produksi lainnya di Indonesia, dikenal juga apa yagn disebut Kamar Dagang dan Industri (Kadin), seirama dengan misi orde baru dalam mewujudkan pembangunan yang sambung menyambung. Wiraswasta (entrepreneur) Indonesia, sebagaimana diuraikan sebelumnya, dapat dikatakan tidak sekuat di India, Malaysia, Filipina dan sebagainya. Patut dicatat disini, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mungkin dapat dianggap sebagai awal terciptanya angkatan wiraswasta yang tangguh pada masa mendatang.
Daftar Pustaka
Kantaprawira, Rusadi. 1988. Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar. Penerbit Sinar Baru: Bandung.
Raga Maran, Rafael. 1999. Pengantar Sosiologi Politik. Penerbit Rineka Cipta: Jakarta.
Saefullah Fatah, Eep. 1998. Catatan atas gagalnya Politik Orde Baru. Penerbit Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Mentradisikan Transparansi dan Akuntabilitas Sebagai Perwujudan Good Governance Di Tingkat Lokal
Pendahuluan
Isu governance mulai memasuki arena perdebatan pembangunan di Indonesia didorong oleh adanya dinamika yang menuntut perubahan-perubahan di sisi pemerintah maupun di sisi warga. Ke depan, pemerintah dan pemimpin di negara ini diharapkan menjadi lebih demokratis, efisien dalam penggunaan sumber daya publik, efektif menjalankan fungsi pelayanan publik, lebih tanggap serta mampu menyusun kebijakan, program dan hukum yang dapat menjamin hak asasi dan keadilan sosial. Sejalan dengan harapan baru terhadap peran negara tersebut, warga juga diharapkan untuk menjadi warga yang memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya, lebih terinformasi, memiliki solidaritas terhadap sesama, bersedia berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan urusan publik, memiliki kemampuan untuk berurusan dengan pemerintah dan institusi publik lainnya, tidak apatis, serta tidak mementingkan diri sendiri. Adanya perubahan di sisi pemerintah dan warga seperti tersebut diatas, berarti adanya perubahan dalam pola governance.
Otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada Daerah. Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah sangat ditentukan oleh kesiapan dan kemampuan daerah itu sendiri dalam mengelola dan memberdayakan seluruh potensi dan sumberdaya yang tersedia.
Masa transisi sistem pemerintahan daerah yang ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Th. 1999 telah membawa beberapa perubahan yang mendasar. Pertama, daerah yang sebelum berlakunya UU No. 22 Th. 1999, hanya memiliki otonomi nyata dan bertanggung jawab saja, dengan berlakunya UU No. 22 Th. 1999 menjadi memiliki otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Kedua, sejalan dengan semakin besarnya wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki oleh pemerintah daerah perlu adanya aparat birokrasi yang semakin bertanggung jawab pula.
Muara dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terselenggaranya pemerintahan yang good governance. Good governance akan menghasilkan birokrasi yang handal dan profesional, efisien, produktif, serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Untuk membahas lebih lanjut mengenai good governance perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari good governance. Di dalam bahasa Indonesia good governance diterjemahkan secara berbeda-beda. Ada yang menerjemahkan good governance sebagai tata pemerintahan yang baik. Ada juga yang menerjemahkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Akan tetapi ada pula yang menerjemahkan good governance sebagai pemerintahan yang amanah. Jika good governance diterjemahkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, maka good governance dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan secara partisipatif, efektif, jujur, adil, transparan dan bertanggungjawab kepada semua level pemerintahan.
Secara umum dapat dikatakan good governance menunjuk pada proses pengelolaan pemerintahan melalui keterlibatan stakeholders yang luas dalam bidang ekonomi, sosial dan politik suatu negara dan pendayagunaan sumber daya alam, keuangan dan manusia menurut kepentingan semua pihak dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, persamaan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas.
Good governance merupakan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang universal, karena itu seharusnya diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Upaya menjalankan prinsip-prinsip good governance perlu dilakukan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Apalagi dengan telah diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Transparansi dan Akuntabilitas Sebuah Jalan Untuk Meraih Kepercayaan Masyarakat
Reformasi sudah berjalan hampir satu dekade. Banyak perubahan bisa dirasakan, seperti kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, kebebasan pers, dan kehidupan demokrasi yang makin kondusif. Di lain sisi, reformasi yang juga menghasilkan desentralisasi atau otonomi daerah tidak luput melahirkan beberapa sisi gelap. Korupsi, kolusi dan nepotisme makin menggejala. Bila dulu hanya dilakukan elite-elite pemerintah pusat, kini makin fenomenal karena juga dilakukan banyak elite lokal. Modus operandinya pun makin beragam. Rupanya, reformasi belum bisa membuat perubahan pada tingkat penyelenggara negara dan birokrasi. Sekadar menyebut bidang-bidang yang masih kedodoran, ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah masih cukup besar, seakan pemerintah adalah pusat jawaban seluruh masalah, dan para penyelenggara negara sendiri masih arogan menganggap diri sebagai “raja” bagi masyarakat.
Reformasi birokrasi juga sangat lemah sehingga masih belum bisa memutus rantai yang panjang, berbelit, tidak efektif dan efisien. Kondisi semacam ini tentu saja kurang menguntungkan dan tidak kondusif bagi pembangunan secara menyeluruh, terutama sangat dirasakan di daerah- daerah sejak otonomi diberlakukan pada 1999. Sejak itu kita mendapatkan kenyataan pemerintahan daerah berlomba-lomba mencari cara untuk mengakumulasi pendapatan asli daerah (PAD) untuk biaya pembangunan dengan cara meningkatkan beban pajak, pungutan, retribusi, perijinan dan lain-lain. Yang menderita tidak lain adalah masyarakat sendiri. Banyak anggota masyarakat bisa menerima semua biaya kenaikan dan pajak, dengan syarat dana-dana itu digunakan secara tepat dan maslahat bagi masyarakat secara keseluruhan. Bila pemerintah daerah sering memasang iklan “warga bijak taat bayar pajak”, maka masyarakat menuntut “pemerintah bijak tidak korup dana pajak”.
Dua tuntutan semacam ini dapat dimaknai secara positif sebagai titik tolak untuk mencari kesepahaman tentang pentingnya menumbuhkan rasa saling percaya antara pemerintah dan rakyat. Saling percaya adalah modal sosial yang perlu ditumbuhkan untuk membangun good governance, yakni suatu tata kelola pemerintahan yang ditegakkan di atas prinsip-prinsip partisipasi, penegakkan supremasi hukum, transparansi dan akuntabilitas, egalitarian, serta efektif dan efisien. Inti dari prinsip-prinsip di atas dapat diringkas ke dalam tiga aspek: prinsip partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Tujuannya adalah untuk membangun kepercayaan publik kepada pemerintah.
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh pemerintah kita (baik pusat maupun daerah) pasca krisis ekonomi dan reformasi adalah turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah (baik eksekutif maupun legislatif). Oleh karena itu, pasca reformasi, paradigma penyelenggaraan pemerintahan baru mensyaratkan adanya perubahan dalam mekanisme komunikasi pemerintah yang semula kurang responsif dan akomodatif kepada masyarakat menjadi lebih terbuka, produktif, efektif dan efisien.
Pemerintahan yang transparan, akuntabel, profesional, bebas kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) merupakan fondasi dasar untuk membangun kepercayaan publik kepada pemerintah. Good governance atau tata kelola kepemerintahan yang baik menjadi prasyarat bagi penyelenggaraan manajemen pemerintahan. Good governance hadir di atas prinsip-prinsip partisipasi, penegakkan supremasi hukum, transparansi dan akuntabilitas, egalitarian, serta efektif dan efisien.
Akuntabilitas (accountability) adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas pemerintah atau pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah telah sesuai dengan norma atau nilai yang dianut rakyat, dan apakah penyelenggaraan pelayanan publik tersebut telah mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Penerapan asas transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui berbagai informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.
Transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah jaminan kesempatan bagi masyarakat untuk mengetahui “siapa mengambil keputusan apa, untuk siapa, beserta alasannya.” Transparansi dan akuntabilitas adalah penting untuk stakeholders memahami pemerintahan daerah dan mengetahui bagaimana, apa, dan siapa penerima manfaat dari pengambilan keputusan pemerintah daerah.
Kasus di Kota Surakarta
Pada tahun 2005 pasca pilkada, di Kota Surakarta , telah terjadi satu langkah kecil dalam rangka menuju akuntabilitas dan transparansi. Pemerintah Kota Surakarta menerbitkan media sosialisasi anggaran dan program pembangunan Kota Surakarta tahun 2005. Penerbitan media sosialisasi ini tentunya tidak langsung mendapatkan tanggapan baik dari sebagian kelompok masyarakat. Bagi pihak-pihak yang merasa terancam kepentingannya memandang sinis dan pesimis terhadap kegunaan media sosialisasi ini.
Bahkan pihak legislatif sempat merasa khawatir akan terjadi gejolak di masyarakat jika masyarakat mengetahui anggaran pembangunan di Kota Surakarta. Pihak legislatif pada awalnya belum bisa menerima penerbitan media sosialisasi ini. Meskipun (seharusnya) media ini bisa menjadi salah satu alat mereka dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Berdasarkan kebermanfaatan yang telah dirasakan masyarakat (salah satunya adalah menghindarkan masyarakat dari usulan-usulan yang sama dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan –Musrenbang-), maka pada tahun 2006, media sosialisasi program pembangunan dibuat kembali. Hampir bersamaan dengan peluncuran media sosialisasi program pembangunan tahun 2006, pemerintah Kota Surakarta juga meluncurkan SMS pengaduan. Dengan nomor 0817441111 (Walikota) dan 0817442222 (Wakil Walikota). Masih pada tahun yang sama, Dinas Kesehatan Kota Surakarta mencoba untuk membuat dalam skala lebih kecil. Selain program-program yang dilaksanakan beserta anggarannya, Dinas Kesehatan Kota Surakarta juga menyertakan informasi-informasi terkait dengan kebijakan sektor kesehatan (salah satunya adalah informasi tanggal-tanggal rawan penyakit tertentu). Dengan adanya informasi ini diharapkan tingkat preventif dalam masyarakat akan terbangun.
Tahun 2007 pemerintah Kota Surakarta kembali membuat media sosialisasi program pembangunan dan anggaran pembangunan. Semakin banyak kelompok masyarakat terbantu dengan adanya media sosialisasi ini. Dengan adanya media sosialisasi ini masyarakat mengetahui pembangunan apa saja yang ada di wilayahnya? Berapa anggarannya? Siapa pelaksananya? Kalau ingin menanyakan nomor kontaknya berapa? Sehingga masyarakat akan lebih mudah jika membutuhkan informasi terhadap pembangunan di Kota Surakarta. Setelah peluncuran SMS pengaduan pada tahun sebelumnya, tahun 2007 ini pemerintah Kota Surakarta meluncurkan call centre melalui nomor 0271-666229.
Prinsip Akuntabilitas dan Transparansi
Prinsip akuntabilitas publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai- nilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut. Sehingga, berdasarkan tahapan sebuah program, akuntabilitas dari setiap tahapan adalah :
1. Pada tahap proses pembuatan sebuah keputusan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas publik adalah:
a. Pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara tertulis dan tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan.
b. Pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku, artinya sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar maupun nilai-nilai yang berlaku di stakeholders.
c. Adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta standar yang berlaku.
d. Adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi dengan konsekuensi mekanisme pertanggungjawaban jika standar tersebut tidak terpenuhi.
e. Konsistensi maupun kelayakan dari target operasional yang telah ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut.
2. Pada tahap sosialisasi kebijakan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas publik adalah:
a. Penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan, melalui media massa, media nirmassa, maupun media komunikasi personal.
b. Akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara- cara mencapai sasaran suatu program.
c. Akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat.
d. Ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang telah dicapai oleh pemerintah.
Sedangkan transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Prinsip transparansi paling tidak dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti :
a. Mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standardisasi dari semua proses-proses pelayanan publik.
b. Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses didalam sektor publik.
c. Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam kegiatan melayani.
Akuntabilitas dan Transparansi Sebuah Tantangan.
Belajar dari kasus di Surakarta tersebut, hal utama bagi pelaksanaan akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan adalah adanya good will penyelenggara Negara dan Kepercayaan Masyarakat. Baru kemudian disusul dengan ketegasan dari kepala daerah untuk melaksanakannya.
Tanpa modal awal tersebut maka pelaksanaan good governance (khususnya akuntabilitas dan transparansi) di suatu daerah akan terhambat. Sampai saat ini akuntabilitas dan transparansi masih dirasakan sebagai hal yang berat untuk dilaksanakan. Alasan adanya “rahasia dapur” tidak boleh di ketahui masyarakat seringkali masih terdengar.
Pengetahuan penyelenggara negara tentang apa yang harus dipublikasikan, dan apa yang memang menjadi rahasia negara masih diragukan. Ketidaktahuan ini seringkali memunculkan perlakuan “pukul rata” terhadap informasi dari pemerintah. Sehingga masyarakat masih merasakan kesulitan mengakses informasi. Padahal salah satu indikator pelaksanaan transparansi dalam penyelenggaraan Negara adalah adanya jaminan bagi masyarakat untuk memperoleh akses atau kebebasan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.
Alasan lain yang sering muncul dan menjadi hambatan dalam mendorong pelaksanaan akuntabilitas dan transparansi di suatu daerah adalah kekhawatiran akan terjadi gejolak sosial jika masyarakat mengetahui informasi-informasi yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan dan anggaran pembangunan. Alasan ini sebenarnya menyiratkan ketidakmampuan dan ketidaksiapan penyelenggara Negara (pihak yang diberi mandat) dalam memberikan pelayanan dan informasi kepada masyarakat (pihak yang memberi mandat).
Sebuah tantangan yang tidak mudah bagi penyelenggara Negara untuk meraih kepercayaan dari masyarakat sebagai pemberi mandat. Terlebih pasca era ketertutupan selama 32 tahun lebih. Belum lagi ditambah dengan persaingan antara kekuatan pasar dan kekuatan Negara. Salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah menjadikan akuntabilitas dan transparansi sebagai kebutuhan dan mengimplementasikan dalam setiap kebijakan. Karena saat ini kebutuhan akan akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan negara sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Sudah seharusnya sebagai pihak yang diberikan mandat memberikan pelayanan yang maksimal kepada pihak yang memberikan mandat.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. 1999. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (BAB 8 Good Governance). PT Remaja Rosdakarya: Bandung.
Dwiyanto, Agus. 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta .
Maarif, A. Syafii, Azyumardi Azra, Sudibyo Markus dkk. 2007. Islam, Good Governance dan Pengentasan Kemiskinan (Kebijakan Pemerintah, Kiprah Kelompok Islam, dan Potret Gerakan Inisiatif di Tingkat Lokal). MAARIF Institute for Culture and Humanity: Jakarta.
Sedarmayanti. 2004. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Bagian Kedua. Penerbit Mandar Maju: Bandung .
Sumarto, Hetifah Sj. 2004. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Yayasan Obor Indonesia : Jakarta .
Komentar
Menurut saya dengan adanya Go-jek dapat mengurangi penganguran yang ada di Indonesia ,dengan adanya perbedaan kebudayaan,etis seharusnya dengan adanya perbedaan tersebut membuat etis/kebudayaan satu dengan yang lain melakuakn persaingan yang sehat dan saling menghargai satu sama lian, bukan malah saling ingin menang sendiri dan dengan adanya Go-jek sendiri tentu tentu dapat memudahkan masyarakat untuk bepergian / kegiatan yang di lakukan di luar rumah dengan adanya konflik yang sudah menyebar dimana-mana termasuk di mediasosial, tv,radio,dll